Lawakan Cerdas Basiyo Dari Jogja, Tetap Relevan Dengan Kekinian
- Saturday, Nov 02 2013
- Written by Antok Wesman
- Hits: 112
RRI-Jogja News/L-09, Beberapa hari terakhir ini Basiyo kembali hadir dengan dagelan-dagelannya yang khas. Bukan melalui siaran RRI Yogyakarta, seperti dahulu orang menikmati dagelannya, tetapi melalui teknologi siaran masakini, internet.
Dengan teknologi tersebut siapapun bisa mendengarkan siaran radio internet dengan menginstal aplikasinya di gadget android, mac, ataupun blackberry.
Sejak 5-11 Oktober 2013, dagelan Basiyo memang diangkat lagi oleh sebuah radio yang berbasis teknologi internet dengan home-base di Yogyakarta yang dikenal dengan @pamityang2an. Radio internet itui kembali memutar rekaman dagelan Basiyo seperti: Maling Kontrang Kantring, Mbecak, Gandrung, Nanggap Keroncong, dan beberapa judul lainnya.
Selain siaran melalui internet dengan output berupa audio, @pamit yang2an juga mengeluarkan output lain dalam bentuk text, yaitu kutipan-kutipan dagelan Basiyo yang “ngangkat” kemudian diangkat di jejaring sosial Twitter dengan tagar #Basiyo.
Dengan jumlah follower di twitter mencapai sekitar 15 ribu orang, @pamit yang2an memberi hiburan tersendiri bagi masyarakat yang mengikuti timeline pada saat itu, untuk menikmati dagelan Basiyo secara text.
Pada berbagai kesempatan, beberapa tokoh seniman Jogja meresponsnya dengan melakukan kultwit tentang Basiyo di Twitter dengan tagar yang sama sehingga makin lengkap informasi yang disajikan tentang Basiyo.
Siapapun yang searching #Basiyo akan menemukan cerita tentang sosok Basiyo maupun cuplikan-cuplikan dagelannya yang menyegarkan dan cerdas. Yang menarik setelah adanya siaran Basiyo dan cuplikan dagelannya di @pamit yang2an adalah munculnya fenomena #mBasiyo di twitter.
Rupanya mereka yang mengikuti siaran dagelan Basiyo maupun yang melihat cuplikan dagelannya di #Basiyo kemudian mencoba sendiri (re-creation) dagelan Basiyo sesuai dengan interpretasi atau berdasar pengalaman pribadi mereka.
Ada banyak pola logika dalam kalimat-kalimat Basiyo yang ndagel yang kemudian mereka jadikan dasar logika untuk membuat kalimat sesuai dengan situasi pengalaman masing-masing. Lebih menarik lagi, kalimat yang mereka hasilkan pun ternyata kualitas ndagel-nya setara dengan dagelan Basiyo, misal: kok ritinge ndadak to? lha opo kon riting seka omah?
Fenomena yang diceritakan tersebut menjadi bukti bahwa sebenarnya Basiyo sudah meletakkan beragam pola dagelan yang bisa dipakai oleh siapa saja dan mudah untuk di interpretasi dan dikemas kembali sesuai dengan situasi jaman. Tinggal kembali berpulang pada niat dan kecerdasan masing-masing untuk mengolahnya.
Berkaitan dengan pementasan “Nggoleki Jimate Basiyo” yang merupakan kerja kolaboratif antara para ahli waris Basiyo dan Kandang Jaran Titer pada Festival Teater Jogja 2013 yang digelar pada tanggal 17 Oktober 2013 jam 20.45 WIB di Concert Hal Taman Budaya Yogyakarta, momentum itu menjadi sebuah piweling bagi kita semua bahwa beragam pengetahuan maupun kenangan tentang Basiyo seharusnya diadakan, dikelola dan dijadikan milik bersama secara terbuka agar bisa dimanfaatkan dan menginspirasi generasi kesenian yang akan datang.
Basiyo sebagai salah satu perintis Dagelan Mataram adalah seniman pertunjukan dengan kemampuan kreatif yang mengagumkan. Sejumlah rekaman audio Dagelan Mataram yang sempat dia kerjakan memperlihatkan bagaimana dramaturgi komedi mataraman tersebut melampaui dramaturgi seni tradisional jamannya.
Basiyo mBecak, Maling Kontrang-Kantring, misalnya, memperlihatkan kulitas karya yang tak kalah dibandingkan gaya absurditas teater modern Perancis yang ditawarkan Samuel Beckett di tahun 50an, lewat "Menuggu Godot" dan "Permainan Terakhir".
Kini, Basiyo, memang hanya menjadi kenangan. Ketika kenangan itu dihadirkan secara bersama, upacara sosial itu mungkin akan meneguhkan lagi kecerdasan kreatif Basiyo yang pernah dibagikan kepada publik seni pertunjukan Yogyakarta, kecerdasan kreatif yang melahirkan tawa yang menghibur, kemampuan memahami kerterbatasan diri yang arif, keberanian menertawakan kenaifan diri-sendiri, ketegaran dalam menerima kegetiran hidup dari kegagalan cita-cita.
Basiyo memang hanya seorang pengisah yang lucu, tapi mungkin ia seorang filsuf yang menghadapi hidup dengan tabah, dan melalui kemampuan keaktoran dan penyutradaraannya, ia bawa kembali kehidupan itu dalam panggung dagelan mataram untuk di sandingkan dengan tawa, bukan untuk saling melecehkan tapi untuk saling menggenapi.
"Nggoleki Jimate Basiyo", Lakon yang ditulis oleh Irfanuddien Gozali tersebut seperti sebuah rangkuman daya kreatif Basiyo yang diluncurkan melalui dialog panggung.
Mengangkat lakon "Nggoleki Jimate Basiyo", anak dan cucu legenda dagelan mataram Basiyo turut meramaikan Festival Tetaer Jogja 2013. Harto, salah satu anak Alm. Basiyo yang pernah aktif di Kethoprak RRI Yogyakarta, dalam pementasan itu memerankan Pak Gembes, seorang penjaga gedung kesenian yang sedang direnovasi sekaligus juga menjadi sutradara pada pertunjukan.
Pemain lain adalah para cucu Basiyo. Heri memerankan Jayen, Deisi sebagai Momo, Digo sebagai Boncel, Ibnu sebagai Gedhek. Adapun Harin, yang tahun 2012 meraih predikat sebagai aktris terbaik Festival Teater Jogja, memerankan dirinya sendiri sebagai salah satu cucu Basiyo yang pintar menari dan suka mengajari temannya.
Keterlibatan anak-cucu Basiyo merupakan hasil kerja kolaboratif antara Kelompok Kandang Jaran Titer dan ahli waris almarhum Basiyo. Pada FTJ tahun 2012, setelah melalui serangkaian wawancara, Irfanuddin Gozali menulis lakon "Nggoleki Jimate Basiyo" sekaligus menyutradarainya. dan menjadi Co-Sutradara mendampingi Harto yang sudah berpengalaman dalam pementasan kethoprak.
Dengarkan Podcast Berita :
Audio clip: Adobe Flash Player (version 9 or above) is required to play this audio clip. Download the latest version here. You also need to have JavaScript enabled in your browser.