You are now being logged in using your Facebook credentials

Pameran Lukisan "Pramuria" Karya Eko Dompu Di Shelly Coffee Prawirotaman II Yogyakarta

RRI-Jogja News/L-09, Eko Dompu adalah pelukis yang kuat dalam mengingat kisah hidupnya. Ia dengan lancar menceritakan berbagai hal yang telah dilewatinya. Selain bertutur, tentu saja karya seni lukis dan sketsanya menjadi “prasasti” atas semua kisah yang adai.

Nama aslinya adalah Muhammad Yakub, lahir 27 Juli 1962. Dompu adalah tempat kelahirannya di Pula Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sementara Eko adalah nama panggilannya sejak kecil. Masa kecilnya diisinya dengan menggambar.

Kebiasaannya melukis pernah disosialisasikan pada pameran lukisan dalam rangka PORSENI tingkat provinsi di Bima, NTB (1981) dan pameran lukisan dalam rangka Hari Kesaktian Pancasila di Dompu, NTB (1982).

Menginjak dewasa hobinya lalu diwujudkan dengan mendaftar di STSRI “ASRI” Yogyakarta. Ia mengaku mengambil ujian masuk Jurusan Desain Komunikasi Visual pada 1983. Sayangnya nasib tak berpihak, padahal sketsanya saat itu bagus, tetapi untuk ukuran Jurusan Seni Murni. Gagallah dia.

Keinginan dan informasi untuk masuk ASRI Yogyakarta sebenarnya didapatkan dari keluarga dekatnya yang juga merupakan alumni ASRI, yakni Abdul Fatah Mansur, pegawai kebudayaan di Dompu.  Anak dari Abdul Fatah bernama Leonardo Fatah Mansur-lah yang mengajari Eko membuat sketsa untuk ujian masuk. Leonardo adalah mahasiswa STSRI “ASRI” Yogyakarta saat itu.

Selama beberapa bulan di Yogya, karena gagal masuk tes akhirnya dia memilih untuk pulang ke kampung halamannya dan kuliah di Jurusan Pertanian, Universitas Muhamadiyah Mataram antara 1984 sampai 1987.

Pada tahun 1984, dia menikah dengan Fauziah (dari pernikahan itu dikaruniai 4 anak). Pada masa itu pula, ia tetap melukis, dan pernah menggelar pameran lukisan di Karang Jangkung Mataram bersama para pelukis lain di tahun 1986.

Tak lama dia migrasi dari Mataram dan tinggal di Jakarta sejak 1987. Di Jakarta, ia bekerja sebagai disainer di Biro Reklame “Tunggal” di daerah Manggarai Jakarta. Hasil karya reklamenya (berupa spanduk misalnya) cukup terkenal, karena dia mengerjakannya dengan cepat dengan hasil yang bagus. Hal itu membuat omset toko tersebut meningkat secara signifikan.

Untuk beberapa waktu, dia pun tak betah bekerja di biro reklame, akhirnya dia menjadi ilustrator majalah remaja, Anita Cemerlang  pada 1988. Di samping itu juga menjadi ilustrator di penerbit buku PT. Indra Jaya antara 1988-1989.

Pekerjaan menjadi ilustrator adalah pekerjaan yang bebas baginya. Karena itulah dia pun secara alami berkenalan dengan rekan ilustrator lainnya bernama August, Rien Bachtiar dan lainnya. Bersama mereka, Eko kerap bertemu di bilangan Pasar Baru. Salah satunya ketika bulan puasa menjajakan kartu lebaran Idul Fitri pada tahun itu.

Ketika bekerja sebagai disainer dan ilustrator, dia juga memperluas pergaulannya, termasuk bergaul dengan para pedagang antik di kawasan jalan Surabaya, Jakarta Pusat. Para penjual barang antik itu kemudian mengetahui kemampuan Eko dalam melukis. Mereka kemudian membeli lukisan-lukisan Eko Dompu dengan harga murah.

Pertemanan dengan para pedagang antik di jalan Surabaya itu juga telah membuka jaringan pelanggan. Pekerjaan sebagai pelukis bagi Eko cukup menjanjikan dan membuat hidup Eko semakin bergairah. Mereka sering memesan lukisan pada Eko karena kemampuan dan keterampilan Eko yang bagus.

Lukisan-lukisannya dibuat dengan gaya impresionistik-figuratif, goresan yang kasar, namun mampu mencapai karakter yang diinginkan. Begitu bagus pekerjaannya dan rajin dalam bekerja, membuat namanya semakin dikenal. Eko sendiri memiliki kemampuan teknik yang dekat dengan karya para maestro dunia dan Indonesia.

Dalam pengantar kuratorialnya Mikke Susanto menjelaskan, di sela lukisannya cukup banyak yang dipesan dan dibeli, agaknya dia juga gemar akan eksotika dunia malam Jakarta. Kehidupan malam  diperkenalkan pertama kali oleh rekannya yang juga merupakan pemilik biro reklame yang diikuti Eko sejak dia bekerja sebagai disainer.

Dari rekannya itulah, Eko “diajari” mabuk untuk pertama kalinya. Alasan dia berkubang di dunia hiburan adalah karena ada problem rumah tangga yang kompleks. Problem keluarga itu menyebabkan dia ingin mendapat pelepasan. Berbagai diskotik dan cafe berbagai kelas sempat dia rasakan.

Beberapa kawasan wisata malam yang terkenal yang pernah disinggahi antara lain kawasan Kramat Tunggak, Pletok, Jl. Manggis, Taman Lawang, Jl. Blora, Halimun, Simpang Harmoni (Jakarta) dan sebagian dari kawasan di Indramayu.

Dia bergumul dengan minuman berakohol, asap rokok, dan para pramuria. Bersama rekan-rekannya dia asyik-masyuk menikmati musik dan lagu syair ekstase malam yang begitu ramai, congkak, serta membius. Sampai-sampai setiap malam dia mabuk dan menguras tenaga. “Saat itu, aku merasa jauh, mengalami masa paling kelam, rusak!” ungkapnya.

Sebagai pelukis tentu saja Eko Dompu tidak hanya diam, minum, atau menikmati malam di sana. dia tetap berkarya. Dalam keremangan dunia malam, dia melakukan proses kreatif dengan membuat sketsa.

Sketsa yang dikerjakan adalah sketsa ringan berbahan kertas tisu. Pada tisu tersebut dia mencoret, yakni menggunakan pipa minuman. Bahan tintanya adalah bir hitam. Maka dengan cara demikian lahirlah sejumlah karya pada setiap waktu yang diinginkan.

Tisu tersebut lalu dibawanya pulang. Sesampai di rumah, dia lalu “memindah” karya tisu tersebut pada kertas lain. Dia men-sket ulang peristiwa semalam pada kertas yang lebih baik, yakni kertas hvs. Sketsa-sketsa yang dikerjakan itu harus dipindah ke kanvas, setidaknya dua hari setelah peristiwa malam yang direkamnya.

Kertas-kertas sketsa itulah yang menjadi dasar dari sejumlah lukisan-lukisannya. Sketsa dan lukisan-lukisan yang sekarang dipamerkan di Yogyakarta. Lebih dari 20 karya yang telah dikerjakan dalam kurun waktu antara 1987 hingga 1996.

Karya-karya yang berkisah tentang pengalaman di “dunia gemerlap” itu secara  khusus disajikan dengan visualisasi yang kental dengan gaya figuratif ala Impresionist Prancis, kaya warna, serta tanpa tedeng aling-aling.

Karya bertajuk Nona Manis (1989) merupakan rekaman teman pramurianya yang bernama Sumiyati. Dia menjadi rekan dekat Eko yang kerap menemani sepanjang malam. Sumiyati sendiri adalah perempuan keturunan Arab-Madura. Dia tinggal di kawasan Kramatunggak. “Dia cantik kayak Eva Arnas”, kata Eko Dompu. Eva Arnas adalah bintang film bertubuh seksi yang kerap main dalam film-film dewasa Indonesia pada dasawarsa 90-an.

Eko mengaku tinggal beberapa bulan dengannya. Sumiyati seakan-akan menjadi teman yang menyadari berbagai problem hidupnya. Menariknya lagi, Sumiyati pun tak keberatan saat Eko merekam dirinya menjadi sebuah lukisan. Karya Nona Manis menjadi bagian penting dalam kisah tentang eksotika dunia malam Eko yang dilewatinya sepanjang waktu lebih dari sepuluh tahun.

Pada karya Eko lainnya bertajuk Rayuan: Seri Kramat Tunggak (1987) ada yang menarik dikisahkan. Dalam karya tersebut tergambar enam figur dalam lukisan. Empat diantaranya yang  menjadi fokus adalah dua pramuria, seorang rekan (tengah, berbaju merah tua) dan Eko Dompu sendiri (kiri, berbaju gelap).

Karya itu menjadi pengingat Eko pada sosok rekannya yang amat dekat. Dia diajak oleh sang rekan tadi ke diskotik untuk mabuk. Terlihat pada meja di bagian tengah ada puluhan botol bir. Dua pramuria di sana tampak bergelayut pada pundak Eko, “Dia minta kami tidak pulang,” ujar Eko. Sungguh suatu narasi yang kuat.

Catatan pribadi itu secara intim mengupas beberapa kisah: pramuria bernama Sumiyati yang pernah dekat dengannya, rekan-rekannya yang “menjebloskan”, sampai hiruk-pikuk  dunia yang amat dekat dengan dunia ekstase.

Yang paling mencengangkan, pameran tersebut menyajikan jejak sejarah yang seutuhnya mengumbar tubuh yang seakan-akan tanpa rasa, tetapi jelas bermakna dengan narasi yang kuat. Dia ingin mengingat “keindahan sekaligus kebobrokan” malam-malam itu dengan cara berbagi pada Anda semua.

Inti sari pameran adalah bahwa sekelam apapun masa lalu itu, tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah menjadi baik. Tentunya semua bermula dari hati, dari niat baik yang diwujudkan dalam bentuk tindak keseharian, yakni menuju gaya hidup yang sehat. Eko Dompu ingin berbagi pengalaman.

Bagi mereka yang masih terjebak lingkar “dunia gemerlap” masih ada kesempatan untuk menuntaskan diri dan kembali fitrah sebagai manusia yang baik. Meskipun lukisan yang disajikan berukuran kecil, namun efek karya seni sebagai ruang kesadaran memiliki efek yang luas dan dalam. Tentu saja semua itu untuk memberi jalan yang terang tanpa melupakan kesejatian bahwa hidup manusia tak selamanya “se-putih kanvas”. Pameran yang menjadi “titik balik” hidup Eko Dompu.

 

Dengarkan Podcast Berita :

Audio clip: Adobe Flash Player (version 9 or above) is required to play this audio clip. Download the latest version here. You also need to have JavaScript enabled in your browser.

Share selected track on FacebookShare selected track on TwitterShare selected track on Google PlusShare selected track on LinkedIn

Login

Login With Facebook

info.anda