You are now being logged in using your Facebook credentials

Tokoh Lokal Sritiwani Karya Alim Bakhtiar Hadir Di Bentara Budaya Yogyakarta

RRI-Jogja News/L-09, Dalam pameran ilustrasi cerita anak ‘Sriti Wani, Kisah Anak-anak Langit’ karya Alim Bakhtiar di Bentara Budaya Yogyakarta, sasterawan Imam Budi Santosa mengisahkan, setelah membaca cerita anak yang ditulis dan diilustrasi demikian indah dan unik, dia mengaitkan dengan Pawukon Jawa.

Bersamaan dibukanya pameran, lahir pula tokoh bocah perempuan yang diberi nama sangat puitis, Sriti Wani. Anak tersebut lahir dari perkawinan Ki Manggar dan Nyi Blimbing Singsing, kaum pidak pedarakan (papa) yang tinggal di Desa Sinom, lereng gunung Sanggeni, di sebuah negeri antah berantah.

Menurut perhitungan Masehi, hari Sabtu Pon, 26 Oktober 2013 dan menurut kalender Jawa (Hijriah) pukul 19.30 WIB sudah masuk Ahad Wage. Menurut Primbon Jawa, anak yang lahir pada hari Ahad Wage memiliki Neptu 9. Wuku-nya Kuningan, Pengarasan-nya Lakuning Angin, Pancasuda-nya Satria Wibawa,  Dina-nya Urang, Lintang 12 yakni Lintang Kus (Kukus), Pranatamangsa-nya Kalima, Bintang-nya Scorpio.

Sedangkan gambaran kepribadian anak yang lahir hari Ahad Wage, mempunyai sifat yang sangat menonjol dalam mengambil hati atau pandai merayu. Sifat-sifat lain yang juga menonjol yaitu, tekun, rajin, giat, banyak bekerja (tidak suka berdiam diri, menganggur, berpangku tangan).

Anak itu juga pekerja keras, penyendiri (suka sendirian), suka sepi atau kesunyian, tidak suka berkumpul dengan banyak orang, berwibawa, punya kepribadian yang berpengaruh, banyak orang yang segan dan hormat, ulet, gigih dan pantang mundur atau tidak kenal menyerah apalagi putus asa. Keras hati namun Baik hati, mulia, kesucian.

Sedangkan sifat yang agak kurang baik: kalau marah berbahaya, suka merusak ataupun susah redanya (mudah kalap). Karakter Sriti Wani yang digambarkan Alim sesuai dengan ramalan primbon di atas; kecuali sifat buruk yang kalau marah berbahaya itu.

Padahal, dalam cerita tersebut Alim samasekali tidak mengisahkan waktu dan hari Sriti Wani dilahirkan. Bagi Imam Budi Santosa, kejadian itu benar-benar mirip sebuah peristiwa kebetulan yang menakjubkan. Sebab, Alim diam-diam mampu menggubah sebuah cerita fiksi yang memiliki korelasi akurat dengan fakta realitas yang tertera dalam ramalan legendaris di Jawa.

Contoh keunikan yang lain, dalam cerita dikisahkan bagaimana perjuangan Sriti Wani menempuh hutan belantara dan mengatasi berbagai kesulitan hingga ke langit untuk mewujudkan cita-citanya. Sritiwani membaca pesan muatan yang tersembunyi di balik simbol-simbol yang tertera di sayap seekor kupu-kupu yang bernama Kupu-kupu Aksara.

Salah satu momen yang indah ketika Alim memaparkan dengan fasih pertemuan Sriti Wani di tengah hutan dengan Enthung (kepompong) yang menjadi Sang Penunjuk Arah. Di masa lalu, dalam tembang dolanan anak-anak di Jawa, kepompong memang suka ditanya: endi elor, endi kidul (dimana Utara dimana Selatan).

Tidak pernah muncul pertanyaan mana Timur mana Barat. Gara-gara membaca segmen itulah Imam jadi seperti diingatkan kembali adanya tradisi mengapa dulu anak-anak bertanya mengenai arah yang akan ditempuh kepada kepompong.

Dengan sangat cantik Alim menarasikan bagaimana Sriti Wani ketika kebingungan di hutan, kemudian si kepompong memberikan pencerahan filosofi khas Jawa yang sekarang banyak dilupakan.

Silahkan simak narasi dan dialog yang ditulis Alim Bakhtiar yakni “Selagi bulan masih cerah, ikutilah jalan ini. Cahayanya akan menuntunmu menemukan apa yang kau cari.” Ia menjatuhkan daun kering yang telah dipilih Sriti Wani ke tanah.

Tiba-tiba di sana terlihat sebuah jalan dengan gambar yang aneh. Nampak perpohonan di kiri kanan yang membentuk lorong panjang. “Percayalah pada hatimu Sriti… percayalah, itu yang akan menyelamatkanmu!” Kata kepompong Lor-Kidul melepas genggamannya. Sriti Wani mengangguk, ia segera berjalan mengambil jalan tersebut.

Dengan demikian, si kepompong menyatakan ke mana pun arah yang akan ditempuh sesungguhnya sama. Sedangkan berhasil tidaknya apa yang diinginkan bukan ditentukan oleh arah jalan, melainkan oleh ketabahan hati yang bersangkutan.

Apa yang disampaikan oleh kepompong itu, mirip sekali dengan pesan yang ditulis Kirdjomuljo (almarhum) dalam puisinya ‘Di Tanganmu’: Kepada siapa akhirnya berjuta hati menatap. Kepada mereka yang bersedia membagi hati kepadanya. Kepada siapa akhirnya berjuta suara mengucap. Kepada mereka yang bersedia membagi suara kepadanya. Aku tidak tahu kau memilih jalan ke mana/segala jalan melintas di telapak tanganmu. Tetapi dapatkah kau mengingkari adanya yang kekal. Dapatkah kau mengingkari adanya jalan ke dalam dirimu? Aku hanya ingin memperingatkan. Jiwa di tanahairmu: jiwa yang sedia berbagi.

Membaca fiksi anak Sriti Wani kita diingatkan akan kisah Sun Go Kong yang disadur dalam bahasa Jawa oleh Sar BS di Majalah Panyebar Semangat (PS) dekade 50-an. Judulnya pun diubah ke dalam bahasa Jawa menjadi: ‘Ngupaya Serat Pangruwating Papa Cintraka.’

Dikisahkan bagaimana pendeta (Sang Prajaka) disertai anak muridnya: Sun Go Kong (Wresiswa), si Wajah Babi (Demalung), si Kulit Hitam (Jlitheng), dan kuda jelmaan Dewa Naga (Nagawahana), menempuh perjalanan bertahun-tahun dari Timur ke pegunungan Barat untuk nggadhuh (minta) kitab suci dari Dewi Kwan Im yang berguna untuk memperbaiki moral akhlak dan kehidupan umat manusia.

Ternyata, Dewi Kwan Im, mengatakan bahwa kitab tersebut telah dimiliki oleh mereka. Artinya, dengan menempuh (proses) perjalanan itu sama halnya mereka telah melakukan pembelajaran terhadap berbagai nilai dan pengalaman hidup beraneka ragam yang dapat dipakai untuk meruwat (memperbaiki) kehidupan nyata di dunia.

Perjalanan Sriti Wani dari kampung halamannya hingga ke langit untuk mewujudkan cita-cita, mempelajari rahasia ilmu pengetahuan yang disimbolkan sebagai teks yang tertera pada Kupu-kupu Aksara, telah mengindikasikan: bahwa sepasang sayap kupu-kupu yang bertuliskan aksara (buku) hanyalah simbol belaka.

Alim Bakhtiar telah menggunakan terminologi ilmu pengetahuan yang dibukukan sebagaimana pandangan Barat, ngelmu yang merupakan ajaran rahasia untuk pegangan hidup sesuai ungkapan peribahasa Jawa yakni ngelmu iku kalakone kanthi laku.

Puncak dari keunikan cerita anak yang ditulis Alim yaitu ketika Sriti Wani berhasil mewujudkan cita-citanya, dia tidak lupa diri. Anak itu tidak ingin menjadi kaum urban meskipun telah mumpuni berbekal pengalaman dan ilmu pengetahuan yang dimiliki.  Tetapi, tetap saja ia kembali ke kampung halaman, ke habitat semula, ke kaki gunung Sanggeni.

Suatu hal yang jarang terjadi saat ini, khususnya bagi generasi muda. Banyak mereka yang sedikit saja mengenyam sukses justru menjelma kacang yang lupa kulitnya. Gambaran tersebut mengindikasikan cerita anak Sriti Wani dalam konteks sosial telah dijadikan semacam ‘kaca spion’ oleh penulisnya.

Ilustrasi dirumuskan sebagai gambar (foto, lukisan) untuk memperjelas, menerangkan isi buku, karangan, atau gambar, desain, atau diagram untuk penghias buku. Melalui pameran ilustrasi cerita anak itu,

Alim Bakhtiar seakan berbisik akan makna ilustrasi bukan hanya seperti dipaparkan dalam kamus saja, menjadi semacam hiasan, yang memperjelas, menerangkan, atau mempercantik semata. Sebab, ilustrasi ternyata dapat juga dijadikan ‘spion’ agar kita mampu melihat ke belakang lagi (berpaling) sebagaimana introspeksi yang digembar-gemborkan di mana-mana, namun jutaan orang tak pernah legawa melaksanakannya.

 

Dengarkan Podcast Berita :

Audio clip: Adobe Flash Player (version 9 or above) is required to play this audio clip. Download the latest version here. You also need to have JavaScript enabled in your browser.

Share selected track on FacebookShare selected track on TwitterShare selected track on Google PlusShare selected track on LinkedIn

Login

Login With Facebook

info.anda