Pameran Dan Pentas Wayang Potehi
- Friday, Sep 28 2012
- Written by Antok Wesman
- Hits: 81
RRI-Jogja News, L-09, Wayang Potehi, suatu nama yang unik didengar, gabungan dari istilah Jawa untuk Wayang dan Tiongkok untuk Potehi. Wayang Potehi, begitulah masyarakat Jawa menyebutnya meski di beberapa daerah di Jawa Timur seperti di Jombang, Mojoagung, Blitar, Tulungagung, Kertosono, Kediri, Malang dan Surabaya, masyarakat menyebutnya sebagai Wayang Titi.
Wayang Potehi adalah seni pertunjukan boneka dengan berbagai lakon dan diiringi musik tradisional Tiongkok, dimainkan oleh dua dalang disebut Se Hu dan empat musisi atau Au Tay, pada sebuah rumah panggung kecil. Potehi berasal dari kata Pouw yang berarti kain, kemudian Tee artinya kantong, dan Hie atau wayang atau sandiwara. Suatu boneka dengan kepala terbuat dari kayu yang diukir, tubuh dari kain yang menyerupai kantung untuk memainkannya dengan cara memasukkan tangan ke dalam kain tersebut lalu pakaian yang dikenakan di luar boneka dihias berbagai atribut dan dilengkapi dengan senjata.
Wayang Potehi masuk ke Nusantara sekitar abad ke-10 dan selanjutnya dibawa oleh para pedagang Tionghoa dari Propinsi Fujian. Pada awal masuknya Wayang Potehi dimainkan dalam dialek Hokkian, namun akhirnya berakulturasi dengan perpaduan antara dialek Hokkian dengan Bahasa Melayu Rendah, suatu bahasa penghantar Tionghoa Peranakan dan kini menggunakan Bahasa Indonesia dicampur sedikit dialek Hokkian.
Beberapa lakon yang sering dimainkan dalam Wayang Potehi yakni Si Jin Kui (Ceng Tang dan Ceng Se), Hong Kiam Chun Chiu, Cu Hun Cau Kok, Lo Thong Sau Pak dan Phui Si Giok. Satu set Wayang Potehi terdiri dari 150 buah wayang, yang mana setiap wayang bisa dimainkan untuk beberapa karakter kecuali tokoh Koan Kong, Utti Kong, dan Thia Kau Kin yang warna mukanya tidak bisa berubah.
Dahulu Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik Tiongkok seperti legenda-legenda Dinasti Tiongkok yang dimainkan di Klenteng. Kini Wayang Potehi sudah mengambil cerita di luar kisah klasik seperti novel karya novel Se Yu dengan tokohnya Kera Sakti. Yang menarik adalah lakon-lakon yang kerap tampil di pentas kemudian diadaptasi menjadi tokoh-tokoh lokal semisal Si Jin Kui diadopsi menjadi tokoh Joko Sudiro, juga tokoh Prabu Lisan Puro diadopsi dari nama Li Si Bin, Kaisar kedua Dinasti Tang.
Wayang Potehi Peranakan Indonesia telah meruntuhkan sekat-sekat kesukuan, mengajarkan filsafat hidup, mengajarkan perbedaan antara baik dan buruk, dan strategi perang, yang masih relevan dan aplikatif dalam kehidupan kekinian, serta sebagai bagian dari kekayaan budaya Nuusantara yang patut dilestarikan.
100 buah wayang Potehi Peranakan Indonesia digelar di Ruang Pamer Sangkring Art Space dari tanggal 23 hingga 29 September 2012 dalam acara Pameran dan Pagelaran Wayang Potehi Indonesia. Wayang Potehi itu koleksi Toni Harsono, Ketua Paguyuban Fu He An dan juga Ketua Yayasan Klenteng Gudo di Jombang. Kegiatan yang sepenuhnya dibiayai oleh Yensen Project, lembaga nirlaba di Mojokerto yang dipimpin oleh Sendjojo Njoto alias Yensen, dengan visi dan misinya melestarikan dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan nasional Indonesia.
Pentas Wayang Potehi di Sangkring Art Space, dusun Nitiprayan, bersama dalang Ki Seseno, asli Gudio, Jombang, Jawa Timur berlangsung selama tujuh hari berturut-turut, yakni Minggu (23/9) menampilkan lakon “Sie Djin Kwi”, Untuk Senin malam (24/9) dengan lakon “See Yoe” atau Kera Sakti, kemudian Selasa (25/9) menampilkan lakon “Kwee Tjoe Gie”, Pada Kamis malam (27/9) menyajikan “Pendekar Pui See Giok”. Untuk Jum’at malam (28/9) Dalang Suseno memainkan lakon berjudul “Sun Pin-Bang Kwan” dan pada malam terakhir Sabtu (29/9) main dengan lakon “Tek Djeng”.
Dengarkan Podcast Berita :
Audio clip: Adobe Flash Player (version 9 or above) is required to play this audio clip. Download the latest version here. You also need to have JavaScript enabled in your browser.
wayangpoptehi