Syuting Film Soegijapranata Di Gereja Bintaran Jogja
- Tuesday, Dec 06 2011
- Written by Antok Wesman
- Hits: 817
RRI-Jogja News, Sutradara kawakan dari Jogja Garin Nugroho saat ini sedang menyelesaikan pembuatan filmnya tentang Soegijapranata yang bernuansa relijiusitas dalam arti luas, mengingat Albertus Soegijapranata adalah salah satu Pahlawan Nasional, berdasarkan SK Presiden RI no 152 tahun 1963 tertanggal 26 Juli 1963, yang berjuang melalui Agama, sebagaimana halnya dengan Ahmad Dahlan dan HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).
Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, lahir di Surakarta, 25 November 1896, dan meninggal di Steyl, Venlo, Belanda, 22 Juli 1963. Pada umur 66 tahun. (Namanya dieja) Sugiyopranoto adalah Vikaris Apostolik Semarang, yang kemudian menjadi Uskup Agung Semarang. Ia juga merupakan Uskup pribumi Indonesia pertama.
Nama kecilnya adalah Soegija. Soegija lahir di sebuah keluarga kejawen yang merupakan abdi dalem keraton Surakarta. Belajar di Kolese Xaverius yang didirikan oleh Pastor Franciscus Georgius Josephus van Lith. Sekolah ini pindahan dari sekolah Lampersari Semarang. Soegijapranata dibaptis di Muntilan oleh Pastor Meltens, dengan mengambil nama permandian Albertus Magnus.
Dari didikan yang didapat di sinilah kemudian ia berhasrat untuk menjadi imam, kemudian ia dikirim ke Belanda belajar di Gymnasium, yang diasuh oleh Ordo Salib Suci/Ordo Sanctae Crucis (OSC) di Uden, propinsi Noord-Brabant (Brabant Utara), di sana ia belajar bahasa Latin dan Yunani.
Kemudian masuk Novisiat, di Mariendaal, Grave. Di sini ia bertemu dengan Pastor Willekens, yang menjadi Vikaris Apostolik Batavia. Pada 22 September 1922 Soegija mengucapkan kaul prasetia yang pertama. 1923-1926 Belajar Filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch. 1926-1928 Kembali ke Muntilan mengajar di Kolese Xaverius Muntilan. Pada Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda belajar Teologi di Maastricht.
Pada tanggal 15 Agustus 1931 menerima Sakramen Imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, Uskup Roermond di kota Maastricht. Namanya ditambah Pranata sehingga menjadi Soegijapranata.
Tahun 1933 Soegijapranata kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di Paroki Kidulloji, Yogyakarta, selama satu tahun sebagai pastor pembantu. Tahun 1934 ia dipindahkan ke Paroki Bintaran sampai tahun 1940.
Pada 1 Agustus 1940 Pastor Batavia Willekens, menerima telegram dari Roma yang berbunyi: "from propaganda fide Semarang erected Vicaris stop, Albert Soegijapranata, appointed Vicar Apostolic titular Bishop danaba stop you may concecrete without bulls" ditanda tangani oleh mgr. Montini (Paus paulus VI). Soegijapranata menjawab: "Thanks to his holiness begs benediction".
Pada 6 November 1940, ia ditahbiskan sebagai uskup pribumi Indonesia pertama untuk Vikaris Apostolik Semarang oleh Pastur Willekens (Vikaris Apostolik Batavia), Pastur AJE Albers, O.Carm (Vikaris Apostolik Malang) dan Mgr. HM Mekkelholt, SCJ (Vikaris Apostolik Palembang).
Disela-sela syuting yang berlangsung di Gereja Bintaran Yogyakarta, Senin (5/12) kepada RRI-Jogja On Line, Garin Nugroho mengatakan, ''Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang krisis saat ini, ajaran Soegijapranata sangat pas dan relevan diterapkan. Yakni, ajaran untuk berpihak kepada kaum miskin.
Soegijapranata memperlihatkan profil yang menonjol dalam pendidikan bangsa melalui tiga pilar yaitu kesadaran akan tradisi, keterlibatan terhadap masalah sekitar dan pembentukan afeksi kecintaan pada bangsa dan masalah yang dihadapi masyarakat. ''Beliau menyiratkan arah pendidikan dasar melalui kecintaan terhadap gereja dan tanah air, serta pembelaan terhadap orang miskin, ini yang harus diimplementasikan saat ini,'' imbuhnya.
Setting pengambilan gambar dilakukan di beberapa kota. Di Semarang, saat Jepang masih bercokol, sementara Belanda ingin menjajah Indonesia kembali, maka terjadilah chaos, kerusuhan meledak dimana-mana, penjarahanpun dilakukan oleh pasukan pendudukan Jepang, penculikan dan pemerkosaan terhadap wanita pribumi.
Diplomasi Diam yang dilakukan oleh Soegijopranoto dengan berkirim surat ke Vatikan agar mengangkatnya sebagai Uskup Indonesia akhirnya membuahkan hasil. Persetujuan Vatikan tersebut membuat Pemerintah Kolonial Belanda merasa kecolongan, karena dengan pengakuan oleh Vatikan tersebut berarti eksistensi Negara Republik Indonesia di dunia terakui pula, ini merupakan suatu kemenangan politik bagi perjuangan Negara RI.
Untuk syuting stasiun lama dilakukan di Ambarawa, kemudian di Magelang, dan Kota Jogja Masa Lalu dibuatkan duplikatnya di seputaran Gondang, Klaten, dan di Jogja tepatnya di Gereja Bintaran tempat Romo Soegijapranata beraktivitas sebelum bertugas di ke-Uskupan Agung Semarang.
Pemain cilik Ling Ling yang diperankan oleh Andrea Refa Sankha Darlius, siswi SD Budi Utama Yogyakarta, kelas 5, menilai Sutradara Garin Nugroho sebagai sosok yang perfectionis, sehingga film-film yang diproduksinya senantiasa sukses.
Garin sendiri merasa senang dengan munculnya pendatang-pendatang baru yang berkualitas dan memiliki kemampuan senirupa dan visual yang bagus, “Ada tujuh karakter pemain yang masing-masing berbeda sehingga sangat membanggakan bisa bermain dengan mereka, terlebih Ling Ling yang menguasai berbagai bahasa seperti Mandarin, Inggris, dan Jawa.”
Romo Kanjeng dimainkan oleh Hengky Suleman berperan selaku papanya Ling Ling yang begitu tabah menghadapi keadaan penjarahan harta bendanya bahkan anak perempuannya yang diperankan oleh Olga Lydia diculik pasukan pendudukan Jepang dijadikan Jugun Ianfu, pemuas nafsu birahi tentara Jepang.
Butet Kertarajasa memerankan Tugimin, Koster (pembantu Romo di Gereja) sebagai medium semacam Punokawan yang menggambarkan bahwa seorang petinggi Gereja adalah manusia biasa yang memerlukan canda-tawa dengan orang lain.
Artis ayu berparas asli Jawa Annisa Hertammi Kusumastuti, memerankan tokoh Meriem. Eko Balung, pemain biola dengan berdiri mengingat di zaman Belanda setiap pemain biola pasti duduk. Banteng, anak muda yang jujur dikenal sebagai serdadu jalanan, preman tulen yang gemar berkelahi dan tidak bisa membaca, hanya tulisan merdeka yang bisa dikenalnya sehingga dia senantiasa meneriakkan kata merdeka!
Robert, orang Belanda yang sarkas dan brutal namun dipenghujung hayatnya dia menyadari bahwa peperangan itu bukanlah solusi dalam menyelesaikan permasalahan. Demikian halnya dengan Nabosuki, tentara Jepang yang menjelang kematiannya sadar bahwa peperangan bukanlah akhir permasalahan sedangkan Presiden Soekarno diperankan oleh Imam Wibowo.
Film layar lebar berbiaya 12 milyar rupiah tersebut melibatkan 300 crews dan 150 pemain pendukung tersebut kini sudah 90 persen selesai pembuatannya dan tinggal sepekan lagi pengambilan gambarnya. Menurut rencana film Soegijapranata akan ditayangkan serentak di kota-kota besar di Tanah Air bertepatan dengan musim liburan sekolah bulan Juni 2012.