You are now being logged in using your Facebook credentials

Kapai-Kapai Atawa Gayuh Dibawakan Secara Cemerlang Oleh Kalanari Theatre Movement Di Taman Budaya Yogyakarta

RRI-Jogja News/L-09, Penampilan Kalanari Theatre Movement Yogyakarta, yang mengusung lakon” Kapai_Kapai (Atawa Gayuh)” pada Rabu malam (16/10/13) di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) di Jl. Sriwedani No.1 mendapat sambutan luar biasa dari seribuan penonton yang memenuhi semua sudut halaman TBY, sehingga secara sukarela semua yang hadir dengan senang hati merogoh kocek dari dompetnya untuk mengisi tas plastik Saweran yang diedarkan para pemain. 

Pentas perdana Festival Teater Jogja 2013 berbahasa Jawa, menampilkan karya sutradara Ibed Surgana Yuga, sebagai hasil kreasi tempo singkat atau suatu ruang singgah dari program pergerakan budaya yang dilakukan Kalanari Theatre Movement, dari Bantul, Yogyakarta, bekerjasama dengan Sanggar Bangun Budaya, Dusun Sumber, Magelang.

Pergerakan budaya itu dilakukan Kalanari guna menerapkan teater sebagai pintu masuk sekaligus pintu keluar untuk mempelajari, menginterpretasi, mengeksplorasi, kemudian merepresentasikan kebudayaan suatu masyarakat.

Dalam program pergerakan budaya tersebut, Kalanari Theatre Movement masuk ke dalam sebuah wilayah budaya bernama Dusun Sumber, di mana di dalamnya terdapat Sanggar Bangun Budaya, sebuah komunitas seni tradisi yang seluruh pelakunya pada dasarnya adalah petani.

Dalam konteks pergerakan, naskah lakon Kapai-kapai karya Arifin C Noer digunakan sebagai media pergerakan budaya dan eksplorasi artistik. Titik berat proses bukan pada produk pertunjukannya, apalagi suatu keinginan untuk nyengkuyung ide besar (masalah perburuhan) dalam lakon.

“Sembari berproses menciptakan pertunjukan Kapai-kapai (atawa Gayuh), kami mempelajari dan mencermati bagaimana latar belakang kehidupan sehari-hari mereka terefleksikan dalam produk ekspresi kebudayaan mereka, serta bagaimana metode mereka dalam melakukan adopsi terhadap berbagai bentuk ekpresi kebudayaan luar desa, luar wilayah lereng Merapi dan luar Jawa,” ungkap Ibed Surgana Yuga.

Hampir seluruh pekerja artistik yang terlibat dalam pertunjukan itu orang Jawa yang dalam kesehariannya mereka berkomunikasi memakai bahasa Jawa, sehingga dirasa sebagai alat komunikasi yang paling intim dalam keseharian di atas panggung. Bahasa Jawa menjadi media yang lebih mudah digunakan untuk menyampaikan ide-ide kepada orang lain, dengan mengikutkan serta emosi dan atmosfer berkomunikasi.

Rasa, emosi, atmosfer menjadi alasan tersendiri bagi Sutradara untuk menggiring teater sebagai refleksi keseharian, guna lebih mendekatkan teater sebagai ekspresi kebudayaan dengan keseharian para pelakunya, sehingga teater bukan menjadi ekspresi yang asing, yang berjarak dengan ekspresi murni keseharian.

Naskah lakon Kapai-kapai, yang aselinya ditulis dengan bahasa Indonesia, diwarnai dengan dialek Betawi urban. Berbagai warna tradisi lokal yang diangkatnya juga berasal dari Betawi. Dan masalah yang diusungnya, problem perburuhan, adalah spesifik masalah perburuhan urban. Untuk “men-Jawa-kan”-nya secara utuh adalah pekerjaan yang berat, yang semestinya terdiri dari serangkaian tahapan penelitian, penafsiran dan latihan.

Menurut Ibed, Hal pertama yang dilakukan adalah bukan dengan menerjemahkan secara utuh seluruh naskah, yang ditulis dengan bahasa Arifin C Noor, ke dalam bahasa Jawa. Yang dilakukan adalah justru meniadakan naskah lakon terlebih dahulu, atau dengan kata lain mengembalikan penciptaan lakon kepada improvisasi, bukan penghapalan naskah lakon.

Secara teknis, ekplorasi itu dilakukan dengan metode pembacaan dan pemahaman naskah lakon terlebih dahulu secara komprehensif, memilah ide-ide yang diusung setiap adegan, lalu memainkannya secara improvisatoris dengan menggunakan bahasa Jawa.

Metode tersebut secara tidak langsung merupakan sebentuk negosiasi, pembelokan dan bahkan penolakan terhadap naskah lakon asalnya. Memasuki wilayah ide dari lakon dimulai dengan pertanyaan ikhwal dongeng dalam Kapai-kapai. Mengapa dongeng? Mengapa yang mendongengkan adalah Emak – bukan Bapak atau Ayah? Penguraian permasalahan itu dilakukan dengan menengok ranah budaya lisan dan pelisanannya.

Dalam tradisi keseharian masa lalu, dongeng sebagai budaya lisan salah satunya mengambil posisi dalam ruang dan waktu sebelum tidur anak-anak. Dan yang biasanya mendongeng untuk anak-anak adalah ibu atau nenek. Dalam ruang dan waktu sebelum tidur anak-anak ini, dunia mendongeng adalah dunia perempuan. Dan dunia yang didongengi adalah dunia anak-anak.

Makanya kemudian dalam naskah lakon asli Kapai-kapai muncul karakter kekanak-kanakan dari Abu (diperankan olehAndika Ananda), dan karakter momong dari Emak (diperankan oleh Dayu Prismawati).

Dalam pertunjukan Kapai-kapai (atawa Gayuh) oleh Kalanari Theatre Movement, konstruksi ibu-dongeng-anak itu ditransformasikan menjadi dalang-lakon-penonton wayang. Tokoh Emak ditransformasi menjadi Ki Dhalang. Ini berangkat dari pembacaan tentang kekuatan suatu narasi (dongeng, cerita, legenda, mitos, lakon) dalam membentuk karakter budaya, bahkan sejarah, dari suatu wilayah budaya.

Dalam dunia Jawa, konstruksi semacam itu terdapat dalam dunia pewayangan. Dalam dunia pertunjukan bayangan itu kita menemukan bagaimana kekuatan Mahabharata membentuk karakter budaya, keyakinan sejarah, bahkan keimanan orang Jawa.

Konstruksi itu sedikit-banyak sejalur dengan konstruksi hubungan Emak-dongeng-Abu dalam naskah lakon Kapai-kapai, di mana dongeng disusun sebagai sebuah skenario atau konspirasi jahat yang diproyeksikan untuk mendikte jalan hidup Abu.

Untuk menandai berbagai transformasi terhadap Kapai-kapai karya Arifin C. Noor, Ibed memberinya semacam subjudul sehingga selengkapnya menjadi Kapai-kapai (atawa Gayuh). ‘Gayuh’ merupakan sebuah kata dasar dalam bahasa Jawa, yang turunannya di antaranya ‘nggayuh’ yang berarti ‘mengambil’, ‘menggapai’, serta ‘gegayuhan’ yang berarti ‘cita-cita’.

Karya tersebut telah dipertunjukkan dalam Mimbar Teater Indonesia 2013 di Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta (26/09/13).

Para pemainnya masing-masing, Andika Ananda, Untung Pribadi, Dayu Prismawati, Ben Bening, Damar Sandibrata, Gandez I. Sholihah, Sunantoro, Tri Pujiyanto, Ibnu Sadewa, Mathori Brilyan, Ari Muryanto, Mbangbong Mbilung, Setiyoko, Yoni Legowo.

Penata Cahaya, Mochalmad Jibna, Dwi Novianto. Penata Musik: Untung Pribadi. Pemusik, Sanggar Bangun Budaya. dan Penata Panggung, Miftakul Efendi dengan Manajer Produksi, Dina Triastuti dan Pelaksana Produksi, Leoni Dian Anggrasari serta Sutradara Ibed Surgana Yuga.

 

Dengarkan Podcast Berita :

Audio clip: Adobe Flash Player (version 9 or above) is required to play this audio clip. Download the latest version here. You also need to have JavaScript enabled in your browser.

Share selected track on FacebookShare selected track on TwitterShare selected track on Google PlusShare selected track on LinkedIn

Login

Login With Facebook

info.anda